Sabtu, 07 September 2013

Cerita "Sandiwara Cinta"

 Sandiwara Cinta
             

“Sudahlah, bunuh saja aku sekarang, daripada aku harus membunuh diriku sendiri dan aku berdosa. Sudah bunuh saja aku, aku tak lagi berarti dalam hidupmu!” pekik Anne membahana.
“Jangan sampai tanganku terkotori darahmu. Aku tak ingin sampai kamu harus mati di tanganku, sadarkah kamu, sampai sekarang aku tetap mencintaimu, dirimu tetap di hatiku meski kita tak lagi bersama!!.” Balas Randi dengan suara menggelegar.
“Tapi, aku tak lagi ingin lebih lama menderita hidup dengan dia, lebih – lebih tanpamu.”
“Tak usah kau hiraukan aku, kalau kau mau pergi silahkan pergi saja. Aku tak mengapa.”
“Coba pahami aku!! akupun sama, tak ingin semua ini terjadi.”
“Sudahlah, kita terima takdir ini! aku akan pergi.”
Keduanya menjauh, akhir yang tragis, cinta mereka tak bersatu. Namun walau begitu tepuk tangan penonton membahana dan riuh, Aku puas dengan akting mereka berdua, mereka aktor dan aktris yang aku pilih sendiri, aku cari sendiri. Aku latih sendiri. Aku ajari mereka bagaimana akting natural, meski aku lihat akting mereka masih jauh dari kata natural, tapi aku kagum dengan kecepatan mereka menghapalkan dialog yang bahasanya bukan bahasa mereka gunakan sehari – hari.
Kenalkan namaku Fikri, aku adalah seorang mahasiswa semester akhir yang masih enggan mengakhiri masa studiku dan lebih asik mengajarkan ilmu yang aku pelajari secara otodidak ini. aku sangat menyukai dunia akting, dunia seni peran, dunia sandiwara. Di dunia itu aku juga mempelajari banyak hal lain seperti tata lampu, tata suara, tata musik, penulisan skenario, dan lain – lain.
Aku seperti seseorang yang sengaja menghindari dunia nyataku, aku seperti lari dari kenyataan hidupku. Aku seperti kehilangan dunia nyataku sehingga harus berlarian mencari dunia lain yang bisa aku buat bersandar. Dunia ini adalah panggung sandiwara, makanya aku sama sekali tak merasa berlari ke dunia lain, aku tetap pada duniaku, dunia yang lebih sandiwara.
“Mas Fik, gimana aktingku?” tanya Anne mengagetkanku.
“Baik.” Jawabku pelan.
“Lempeng banget responnya, kesel deh.”
“Terus mas harus bilang apa? wow gitu?”
Dia tergelak, manis. Aku tak ingin menatapnya lekat, karena dengan menatapnya berarti aku harus mengingat dia lagi, kakak kandungnya yang telah tiada. Kakak kandungnya yang harusnya kini mungkin sudah sama – sama mencari pekerjaan di bank atau kantor – kantor keuangan dengan dia, karena kita janji akan lulus bareng. Tapi?
“Aku nggak suka ama aktingnya Randi, datar banget.” Ucapnya sambil memanyunkan bibirnya.
“Kenapa bilang gitu?”
“Masak mas nggak bisa lihat, sih? Dari tadi itu matanya dia nggak ke aku, entah kemana.”
“Tapi aku salut sama kalian berdua yang sudah bisa membuat pementasan kali ini sangat seru dan semarak, terima kasih ya.”
“Mas Fikri ingat Mbak Nani ya?”
Aku mengangguk pelan, dia seperti merasakan apa yang aku rasakan. Dia terpekur, airmatanya menggantung di pelupuk matanya. Aku tahu kita semua kehilangan Nani, kenapa semua harus terjadi. Kenapa?
“Mbak Nani mungkin sudah bahagia di alam sana. tapi Mbak Nani juga bakalan sedih lihat Mas Fikri terus – terusan lari dari masalah gini? Ayo, mas. coba sedikit sadar! Dunia tak selebar daun kelor. Kamu harus berani menghadapi kenyataan kalau mbak Nani meninggal dan nggak akan balik lagi.”
“Tapi aku merasakan Nani masih setia menemaniku.”
“Cinta mbak Nani buat Mas Fikri itu palsu, dia nggak cinta sama kakak. Kenapa kakak nggak bisa ngelupain dia?”
“Aku terlalu cinta pada dia.”
“Susah ngomong sama mas Fikri ini!” bentaknya seraya pergi meninggalkanku.
“Di saat lelah gini emang paling enak ya bersandar di bahumu, Fik.”
“Nani, kamu harus tahu, kita nggak bisa terus – terusan begini. Kamu bukan pacarku.”
“So why?”
“Kamu nggak mikirin perasaanku, perasaan Toni juga? Kita sahabatan, Nan. Aku nggak ingin buat hatinya kecewa karena kedekatan kita.”
“Kan dia lebih beruntung dari kamu, lagian aku juga sejenak doang bersandar di bahumu.”
“Kamu juga nyakitin aku, Nan. Kamu seperti ngasih aku harapan palsu.”
“Kenapa kamu masih ragu tentang cintaku sih?”
“Jelas, kamu tak pernah menunjukkan niat baik dan sepertinya ingin membuat masalah antara aku dan Fathoni.”
“Kita harusnya menikmati momen ini tanpa harus menyebut namanya. Kamu harusnya banyak – banyak doa saja semoga cinta kita bisa kekal abadi, kita bisa bersatu walau kita tak ada ikatan.”
“Sampai kapan? Kau bagi cintaku dan cintanya?”
“Aku tak tahu, Fikri. Mungkin sampai aku mati.”
“Toni! Ton! Dengerin dulu! semua ini nggak seperti yang kamu lihat, diantara kita. . . .” Toni menonjokku keras, aku terpelanting jauh. aku tak lagi dapat melihat apa yang diperbincangkannya dengan Nani, hanya sayup – sayup terdengar.
“Kenapa kalian tega menghianati gue? Apa salah gue sama kalian? Selama ini kalian ternyata menipu gue? Jelas gue nggak bisa terima yang kayak gini! Gue doain siapapun diantara kalian bakalan kualat sama gue, karena udah nipu gue, nusuk gue dari belakang!” hardik Fathoni beberapa waktu lalu.
Kata – kata itu masih menari – nari di ingatanku. Hingga hari ini aku tak habis pikir, kita kena tulah dari perbuatan terlarang itu. aku harus kehilangan semangat buat hidup sedangkan Nani kehilangan hidup. Cinta terlarang yang kita sebar benihnya harus layu sebelum akhirnya mekar. Hati ini perih terasa, kehilangan sahabat kehilangan cinta.
Seharusnya aku tak tergoda dengan rayuan Nani. Harusnya aku menjaga keutuhan persahabatan diatas segala – galanya. Harusnya, tapi kini nasi sudah menjadi bubur bahkan menjadi aking. Tak lagi ada yang dapat diperbaiki. Fathoni sudah jauh lebih sukses dan beruntung dibandingkan aku, dia juga kabarnya sudah bertunangan dengan pemenang kontes kecantikan tahun lalu yang tak lain adalah putri pemilik sebuah bank nasional yang cantik dan cerdasnya tak perlu diragukan lagi?
Aku bandingkan dengan hidupku? Jauh. dapat kerja yang pas saja belum. Apalagi dapat pacar baru yang luar dalam sempurna seperti yang didapatkan Fathoni? aku menyesali perbuatanku itu. perbuatan yang salah dan terkutuk itu.
“Mas Fikri, siapa yang pantas aku pilih. Persahabatanku atau cintaku.” Tegur Anne.
“Sahabat.” Jawabku pasti.
“Why?”
“Nggak ada alasan. Jangan sampai kamu melukai sahabatmu, meski cinta terlihat lebih menguatkanmu.”
“Aku tahu bagaimana perasaannya, tapi aku tahu juga, kalau Lina amat sangat mencintainya.”
“Siapa? Randi?”
Dia mengangguk. Wajahnya mendadak masam.
“Kamu cinta sama dia?”
“Gimana ya?”
“Kalau kamu cinta, bandingkan lebih kuat mana cinta Randi, padamu atau pada Lina.”
Aku menatap erat wajah Anne. Sangat mirip dengan Nani, senyumnya, barisan gigi rapatnya, dan juga sepasang mata bola yang membuat setiap lelaki memimpikan mata itu, mata itu teduh dan laksana bidadari.
“Randi terlalu susah ditebak. Bikin galau aja.”
“Nggak usah main hati deh, biasa aja.”
“Tapi hatiku kian nggak bergetar kalau di dekatnya. Justru . . . .”
“Justru kenapa?”
Dia menggeleng. Sepertinya ada sesuatu yang menyerang otaknya sehingga dia mengurungkan ucapannya dan memilih untuk berlari meninggalkanku seorang diri. Aku lihat dari jauh mukanya memerah.
Setengah mati aku merasakan penyesalan yang mendalam, setelah itu aku seperti jera. Tak lagi ingin bersahabat, tak lagi ingin menjalin cinta. Karena semua itu palsu. Ketika dihadapkan pada kepentingan pribadi masing – masing. Dalam kasus ini akulah pecundangnya, meski di awal terlihat akulah pemenangnya. Oh!
Sungguh mati, aku tak lagi ingin lebih lama hidup disini. Ingin aku turut ke dunia dimana Nani kini tenang. Tapi aku masih mau buat hidup dan memperjuangkan harapanku yang belum terwujud.
“Fikri, aku mencintai kamu. Meski di saat ini kita tak mungkin bersama.”
Akupun sama, Nani. Aku mencintaimu lebih dari siapapun, aku mengharapkan kalau kita akhirnya berakhir bahagia. Tak ada kompetisi. Tak ada kalah menang. Tak ada yang disakiti atau merasa menyakiti. Harusnya.
“Pokoknya bapak nggak mau tahu! Kamu harus sudah wisuda semester depan! Bapak ini malu, nak. Tiap hari ditanyain tetangga – tetangga soal nasib kuliah kamu.!”
“Bapak ngerti nggak sih, aku lagi galau.”
“Galau itu sehari dua hari, lagian ngapain sih kamu pakai ikutan kayak gitu? Kamu itu lelaki, patah satu tumbuh seribu. Malah bisa tumbuh sepuluh ribu. Perasaan bapak dulu mudanya juga nggak gitu – gitu amat.”
“Nggak semudah itu, Pak. Aku udah membunuh persahabatanku sendiri, aku juga udah bikin semuanya makin runyam dengan kematian . . .”
“Semua udah terjadi kan? Emangnya kamu bisa bikin semuanya kembali balik lagi? Lihat, ibu kamu udah sakit – sakitan terus. Dia nggak ingin apa – apa. dia ingin lihat kamu segera lulus kuliah, gitu aja!” ujar bapakku sambil memegang – megang jenggotnya.
“Sekarang aku harus gimana?”
“Kamu harus minta maaf sama Fathoni. dimanapun dia sekarang, temui dia!”
Aku terngaga, darimana bapak yang biasanya cuek dengan hidupku bisa tahu aku ada masalah besar dengan Fathoni. akupun akhirnya seperti mendapatkan ilham, Cuma dengan cara itu semua akan menjadi baik.
“Ayo kita taruhan, apa Fathoni bakalan maafin Fikri?”
“Nggak mungkin, lah. Jelas – jelas kesalahan Fikri udah parah banget, ngerebut pacar Fathoni, nusuk Fathoni dari belakang, huh!”
“Sahabat macam apa kayak gitu?”
“Tega ya.”
“Aku pegang, yang lain. Thoni bakalan maafin Fikri, aku yakin di hatinya masih ada hati nurani, ini kisah nyata. Bukan sandiwara. Dalam salah masih ada maaf.”
“Sok banget kamu.”
Sayup – sayup aku dengarkan suara kegusaran mereka. dulu aku juga tertantang oleh tawaran taruhan mereka yang hadiahnya sangat menggiurkan. Tapi? tapi kalau akhirnya begini lebih baik dari awal aku tak menghiraukan mereka. masak sahabatnya sendiri jadi taruhan? Dan aku, aku lebih tega lagi. Sahabat sendiri dihianati. Meski awalnya tak ada maksud.
“Gimana nih pementasan kita selanjutnya? Masih masang aku sama Randi, kan?”
“Nggak.”
“Ayolah, please.”
“Yang mana namanya Lina?”
“Mas Fikri belum tahu? Lina meninggal dunia, mas. dia overdosis setelah tahu kalau Randi nggak suka sama dia.”
Aku makin terbelalak. Ini sandiwara apa nyata? Ini nggak mungkin. Ada apa sebenarnya?
“Kasihan ya dia?”
“Lebih kasihan lagi aku, ternyata dia selama ini udah menjalin hubungan dengan Yoan, mantanku. Mereka berhubungan sejak aku masih jadi pacar Yoan. Aku nggak nyangka aja. Ternyata hidup hanya soal menipu dan ditipu, menusuk atau ditusuk. Aku sedih. Aku nggak bisa berpikir.”
“Darimana kamu tahu?”
“Kemarin Yoan meminta maaf sama aku dan memintakan maaf almarhumah Lina.”
“Sekarang kamu sedih atau bahagia.”
“Jelas aku sedih. Aku nggak bisa mikir lagi. Aku emang udah nggak ada lagi ikatan ama Yoan, dan rasa cintaku juga udah nggak ada, tapi yang aku sesalkan kenapa justru yang menyakitiku adalah sahabat dan pacarku sendiri.”
“Pacar?”
“Kan dulu statusnya pacarku.”
“Kalau Yoan minta maaf ama kamu dan minta balikan ama kamu, kira – kira kamu kasih kesempatan kedua nggak?”
“Maaf oke, balikan nggak.”
Anne menunjukkanku kira – kira apa yang akan aku hadapi jika melakukan hal yang sama dengan Fathoni. “Semoga kamu mau maafin kesalahanku, Thoni.” Ujarku sambil berlutut pada Fathoni. “Udah nggak ada yang perlu dimaafin, bahagialah kalian berdua, dengan Nani. Aku ikhlas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar